Congestif Heart Failure (CHF)


GAGAL JANTUNG
CONGESTIF HEART FAILURE (CHF)

A.     PENGERTIAN
Gagal jantung sering disebut juga gagal jantung kongestif (CHF) adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen. Mekanisme yang mendasar tentang  gagal jantung termasuk kerusakan sifat kontraktil dari jantung, yang mengarah pada curah jantung kurang dari normal. Kondisi umum yang mendasari termasuk aterosklerosis, hipertensi atrial, dan penyakit inflamasi atau degeneratif otot jantung. Sejumlah faktor sistemik dapat menunjang perkembangan dan keparahan dari gagal jantung. Peningkatan laju metabolic (misalnya: demam, koma, tiroktoksikosis), hipoksia dan anemia membutuhkan suatu peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

Chronic Kidney Disease (CKD)


LAPORAN PENDAHULUAN

A.   B.      Definisi
      Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) ( KMB, Vol 2 hal 1448).
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2001)
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2001)
C.      Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
1.       Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
2.       Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
3.       Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
4.       Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
5.       Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)
6.       Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
7.       Nefropati toksik
8.       Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)
(Price & Wilson, 1994)
Penyebab gagak ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan klinis dapat dibagi dalam 2 kelompok :
1.       Penyakit parenkim ginjal
Penyakit ginjal primer : Glomerulonefritis, Mielonefritis, Ginjal polikistik, Tbc ginjal
Penyakit ginjal sekunder : Nefritis lupus, Nefropati, Amilordosis ginjal, Poliarteritis nodasa, Sclerosis sistemik progresif, Gout, Dm
2.       Penyakit ginjal obstruktif : pembesaran prostat,Batu saluran kemih, Refluks ureter,
Secara garis besar penyebab gagal ginjal dapat dikategorikan
Infeksi yang berulang dan nefron yang memburuk
Obstruksi saluran kemih
Destruksi pembuluh darah akibat diabetes dan hipertensi yang lama
Scar pada jaringan dan trauma langsung pada ginjal
D.      Klasifikasi

E.       Insidensi
Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi 166 ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu.
Selain data tersebut, 6 juta-20 juta individu di AS diperkirakan mengalami GGK (gagal ginjal kronis) fase awal. Dan itu cenderung berlanjut tanpa berhenti.
F.       Prognosis Penyakit
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium
1.       Stadium I
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % - 75 %). Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum merasasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.
2.       Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % - 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % - 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter / hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 % - 25 % . faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik, , aktifitas penderita mulai terganggu.
3.       Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %)
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan diman tak dapat melakukan tugas sehari hair sebaimana mestinya. Gejal gejal yang timbul antara lain mual, munta, nafsu makan berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadum akhir timbul pada sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal,
kompleks menyerang tubulus gijal, kompleks perubahan biokimia dan gejala gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan menggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
G.     Patofisiologi
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR(Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
1.       Penurunan cadangan ginjal;
Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi
2.       Insufisiensi ginjal;
Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis
3.       Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
4.       Penyakit gagal ginjal stadium akhir;
Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubuluS. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal.
(Corwin, 1994)
Pathways (terlampir)
à
2 pendekatan teoritis yang biasanya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada Gagal ginjal Kronis:
1.       Sudut pandang tradisional
Mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi –fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya, misalnya lesi organic pada medulla akan merusak susunan anatomic dari lengkung henle.
2.       Pendekatan Hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh
Berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul bila jumlah nefron yang sudah sedemikian berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi.
Adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal, terjadi peningkatan percepatan filtrasi, beban solute dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron yang terdapat dalam ginjal turun dibawab normal.
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang rendah.
Namun akhirnya kalau 75 % massa nefron telah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban solute bagi tiap nefron sedemikian tinggi sehingga keseimbangan glomerolus-tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun konsentrasi solute dan air menjadi berkurang.
H.     Tanda Dan Gejala
1.       Gangguan pernafasan
2.       Udema
3.       Hipertensi
4.       Anoreksia, nausea, vomitus
5.       Ulserasi lambung
6.       Stomatitis
7.       Proteinuria
8.       Hematuria
9.       Letargi, apatis, penuruna konsentrasi
10.   Anemia
11.   Perdarahan
12.   Turgor kulit jelek, gatak gatal pada kulit
13.   Distrofi renal
14.   Hiperkalemia
15.   Asidosis metabolic

1. Kardiovaskuler
 Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
 Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
 Edema periorbital
 Friction rub pericardial
 Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
 Warna kulit abu-abu mengkilat
 Kulit kering bersisik
 Pruritus
 Ekimosis
 Kuku tipis dan rapuh
 Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
 Krekels
 Sputum kental dan liat
 Nafas dangkal
 Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
 Anoreksia, mual, muntah, cegukan
 Nafas berbau ammonia
 Ulserasi dan perdarahan mulut
 Konstipasi dan diare
 Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
 Tidak mampu konsentrasi
 Kelemahan dan keletihan
 Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran
 Disorientasi
 Kejang
 Rasa panas pada telapak kaki
 Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
 Kram otot
 Kekuatan otot hilang
 Kelemahan pada tungkai
 Fraktur tulang
 Foot drop
7. Reproduktif
 Amenore
 Atrofi testekuler
(Smeltzer & Bare, 2001)
I.        Pemeriksaan Penunjang
1.       Urine :
o   Volume
o   Warna
o   Sedimen
o   Berat jenis
o   Kreatinin
o   Protein
2.       Darah :
o   Bun / kreatinin
o   Hitung darah lengkap
o   Sel darah merah
o   Natrium serum
o   Kalium
o   Magnesium fosfat
o   Protein
o   Osmolaritas serum
3.       Pielografi intravena
o   Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
o   Pielografi retrograd
o   Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
o   Arteriogram ginjal
o   Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
4.       Sistouretrogram berkemih
o   Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi.
5.       Ultrasono ginjal
o   Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
6.       Biopsi ginjal
o   Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis
7.       Endoskopi ginjal nefroskopi
o   Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
8.       EKG
o   Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.
à
1. Pemeriksaan Laboratorium
o Laboratorium darah :
BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin)
o Pemeriksaan Urin
Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT
2. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia)
3. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostate
4. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen
J.        Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1.       Hiperkalemia
2.       Perikarditis
3.       Hipertensi
4.       Anemia
5.       Penyakit tulang
(Smeltzer & Bare, 2001)
K.      Penatalaksanaan
1.       Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka.
2.       Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
3.       Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.
Glomerular  Filtration  Rate  (GFR)=
[ (140 – age in years) × weight (kg) ]/plasma creatinine (µmol/l) × 0.82 (subtract 15 per cent for females)
Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :
1.       Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2.       Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.
3.       Dialisis
4.       Transplantasi ginjal
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)
L.       Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronis
Pengkajian
1. Aktifitas dan Istirahat
Kelelahan, kelemahan, malaise, gangguan tidur
Kelemahan otot dan tonus, penurunan ROM
2. Sirkulasi
Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada
Peningkatan JVP, tachycardia, hipotensi orthostatic, friction rub
3. Integritas Ego
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan
Menolak, cemas, takut, marah, irritable
4. Eliminasi
Penurunan frekuensi urin, oliguri, anuri, perubahan warna urin, urin pekat warna merah/coklat, berawan, diare, konstipasi, abdomen kembung
5. Makanan/Cairan
Peningkatan BB karena edema, penurunan BB karena malnutrisi, anoreksia, mual, muntah, rasa logam pada mulut, asites
Penurunan otot, penurunan lemak subkutan
6. Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot, kejang, kebas, kesemutan
Gangguan status mental,penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, koma
7. Nyeri/Kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
Distraksi, gelisah
8. Pernafasan
Pernafasan Kussmaul (cepat dan dangkal), Paroksismal Nokturnal Dyspnea (+)
Batuk produkrif dengan frotty sputum bila terjadi edema pulmonal
9. Keamanan
Kulit gatal, infeksi berulang, pruritus, demam (sepsis dan dehidrasi), petekie, ekimosis, fraktur tulang, deposit fosfat kalsieum pada kulit, ROM terbatas
10. Seksualitas
Penurunan libido, amenore, infertilitas
11. Interaksi Sosial
Tidak mampu bekerja, tidak mampu menjalankan peran seperti biasanya
(Doengoes, 2000)
M

O.     

Fistula Enterovesica



BAB I
PENDAHULUAN

Secara normal antara system saluran kencing dan juga saluran pencernaan terpisah satu sama lain. Tapi ada hal yang kadang bisa menyebabkan hubungan antara dua organ yang terpisah itu antara lain infeksi, inflamasi, keganasan, komplikasi postoperasi. Penyakit usus sendiri yang terjadi jika berdekatan dengan organ vesicaurinaria bisa memunculkan suatu keadaan hubungan antara dua system tersebut yang dikenal sebagai fistula enterovesical.
Fistula sendiri merupakan suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara 2 organ secara langsung, Fistula enterovesical disini terjadi hubungan antara buli dan tractus intestinal baik caecum, apendik, colon, rectum dsb. Fistula ini bisa ditemukan pada anak-anak dan dewasa. Pada anak-anak paling sering disebabkan karena kelainan kongenital yang dihubungkan “colorectal imperforation” dan juga atresia anal dan uretral. Sedangkan pada dewasa sering disebabkan oleh karena Penyakit Chron, divertikulosis, neoplasma di colon atau buli , inflammatory bowel disease dll. Manifestasi gejala penyakit ini bervariasi, tapi kadang tidak khas bisa menunjukkan adanya suatu fistula, oleh karena gejalanya menyerupai dengan berbagai penyakit pada traktus urinarius dan sebagian gejala juga ada gangguan pencernaan.
Diagnosis fistula enterovesical sendiri juga kadang sulit sehingga perlu perhatian serius dalam menilai gejala, melakukan pemeriksaan penunjang dan juga menentukkan methode untuk menegakkan diagnosis terhadap penyakit ini. Hanya dengan pemeriksaan radiografi konvensional tidak bisa menilai adanya kelainan penyakit ini.  Pemeriksaan dengan menggunakan CT Scan dengan kontras merupakan primary diagnosis untuk menegakkan penyakit ini. Disamping itu kita juga melihat adanya komponen intraluminal kita juga dapat melihat adanya masa atau jaringan.
Pendekatan terapi pada fistula enterovesical bervariasi tergantung ada tidaknya inflamasi, keganasan, dan organ mana saja yang terkena. Modalitas terapi yang terpilih untuk saat ini adalah dengan pembedahan, tapi kadang juga terapi konservatif dan medikamentosa berperan penting dalam pengobatan fistula enterovesical ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi
            Fistula sendiri adalah suatu hubungan abnormal antara dua permukaan epitel. Fistula enterovesikal adalah suatu hubungan  abnormal yang menghubungkan antara vesika urinaria dan traktus intestinalis (colon, ileum, rektum, apendix dsb). Fistula enterovesikal juga dikenal dengan fistula intestinovesikal.
            Fistula enterovesikal dibagi menjadi 4 bagian berdasarkan segmen usus yang berperan di dalamnya antara lain 1) Fistula Colovesical; 2) Fistula Rectovescal (termasuk juga Fistula Rectouretral); 3) Fistula Ileovesical; 4) Fistula Apendikovesical. Fistula Colovesical adalah kelainan yang paling umum ditemukan dan yang paling sering terjadi adalah antara segmen colon sigmoid yang berhubungan dengan vesica urinaria. Fistula Rektovesical bisa terjadi sebagai konsekuensi adanya suatu prosedur pembedahan misalnya prostatectomy, atau infeksi kronis yang berhubungan dengan 2 organ tersebut, dan mungkin terjadi dikarenakan suatu gangren Fornier.
B.     Epidemiologi
Fistula enterovesical yang umumnya terjadi adalah tipe fistula colovesical. Untuk menentukkan frekuensi fistula enterovesical sendiri kadang sangat sulit dikarenakan proses yang terjadi kadang multiple dan prosedur pembedahan berefek menimbulkan beberapa fistula.
Insiden fistula enterovesical pada pasien dengan diverticulosis adalah sekitar 2%, walaupun ada beberapa center yang menyebutkan presentase yang lebih. Hanya sekitar 0,6 % saja dari suatu keganasan yang membentuk suatu fistula.
      Fistula enterovesical sendiri sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 3:1. Hal ini disebabkan oleh karena interposisi uterus atau adneksa dan juga vesica urinaria dan usus itu sendiri. Sekitar 50 % wanita yang sebelumnya punya riwayat hystrectomyditemukan juga suatu fistula enterovesical, tapi pada wanita kejadian ini pun sebenarnya jarang terjadi karena lebih banyak tipe fistula yang terjadi pada wanita berasal dari iatrogenik/ pembedahan misalnya : fistula enterovaginal, fistula ureterovaginal, fistula vesicovaginal.

C.    Etiologi
                  Pembentukan fistula diyakini berkembang dari perforasi yang terlokalisir kemudian berimbas pada organ lain karena terjadi suatu perlekatan. Dan prsoes patologis ini terjadi pada daerah intestinal, dan karakteristik proses patologi yang demikian yang memunculkan hubungan antara segmen usus dengan vesicaurinaria., yang nantinya diyakini sebagai suatu Fistula enterovesical.
                  Penyebab  terjadinya fistula enterovesikal bervariasi,  divertikel usus besar (50-70 %) nantinya bisa mengakibatkan terjadinya fistula colovesical, penyakit neoplastik (adenocarcinoma colon, karsinoma buli dsb) dapat menyebabkan fistula rectovesical, Crohn disease menyebabkan fistula ileovesical, Apendisitis juga ditengarai bisa menyebabkan fistula apendivesical, Inflamation Bowel Disease, terapi radiasi,  juga karena proses trauma bisa jadi menjadi faktor lain penyebab terjadinya fistula ini.
D.    Latar Belakang Sejarah
                  Pada awal abad ke 2 Ephesus dari Rufus memaparkan adanya suatu fistula yang menghubungkan antara vesica uriniaria dan juga segmen usus. Penyebab umum terjadinya hubungan yang tidak sempurna antara dua organ ini adalah ( misal: penyakit tipes, amubiasis, siphilis, dan juga TBC ) dan dapat terjadi karena diverticulosis, keganasana, Crohn Disease, dan iatrogenik. Pengobatan juga sudah dilakukan pada sekitar tahun 1888 dan beberapa bersugesti tentang fistula enterovesical mungkin dapat diobati oleh “suatu program dari Brustol dan air susu dari keledai”. Meskipun demikian pembedahan menjadi pendekatan metode terapi  yang terpilih walaupun lebih invasif.

E.     Patofisiologi
                  Fistula enterovesical bisa terjadi secara kongenital ataupun didapat. Fistula enterovesical kongenital biasanya terjadi pada anak-anak dan jarang terjadi dan kadang dihubungkan dengan anus imperforata, sedangkan pada orang dewasa penyebab paling sering adalah diverticulosis, keganasan, crohn disease, iatrogenik dan komplikasi dari pembedaha.
1.      Patosiologi inflamasi
              50-70% fistula enterovesical disebabkan oleh karena diverticulosis. Fistula divertikel sering terjadi dan menyebabkan fistula colovesical. Komplikasi dari divertikulosisoleh karena phlegmon atau suatu abses yang melekat pada vesicaurinaria yang dapat menyebabkan perforasi pada vesica urinaria ini pada akhirya dapat menyebabkan hubungan yang tidak sempurna antara dua organ tersebut yang dikenal sebagai fistula colovesical. Komplikasi ini terjadi sekitar 2-4% dari semua kasus di vertikulosis , walaupun pada beberapa center yang lain menyebutkan presentase yang lebih.
              Sekitar 10% fistula enterovesical disebabkan oleh karena penyakit crohn yang umunya menyebabkan suatu fistula ileovesical. Fistula ileovesical berkembang dari 10% pasien dengan diagnosa ilietis. Inflamasi yang terjadi secara transmural yang ini khas pada colitis crohn selalu berakibat pada perlekatan dengan organ lain. Dan kemudian suatu erosi yang berkembang pada organ lain yang terkena imbas dari inflamasi tersebut menyebabkan terjadinya fistula. Perkembangan penyakit crohn untuk menimbulkan gejala suatu fistula memerlukan waktu sekitar 10 tahun, dan paling banyak pasien seperti demikian pada usia sekitar 30 tahun.
              Jarang yang terjadi inflamasi yang menyebabkan fistula yang disebabkan oleh karena divertiikulum meckel, coccidioidomycosys genitourinary, ataupun actinomycosis pelvic. Kadang apendisitis sendiri yang bisa menyebabkan fistula appendicovesical. Pernah juga dilaporkan fistula enterovesical yang disebabkan oleh karena lymphadenopathy yang dihubungkan dengan penyakit Fabry. Di Spanyol pernah juga dilaporkan dalam suatu kasus walaupun jarang terjadi, bahwa ada suatu fistula colovesical yang berkembang dari inflamasi yang berasal dari vesicaurinaria pada pasien dengan diabetes melitus.
2.      Patofisiologi keganasan
              Sekitar 20 % fistula enterovesical disebabkan oleh karena keganasan. Karsinoma kolorektal merupakan suatu keganasan yang dihubungkan dengan fistula enterovesical. Keganasan merupakan faktor penyebab kedua yang paling terjadinya fistula colovesical. Karsinoma transmural dari colon dan rektum  yang melekat pada organ dan menginfiltrasi secara langsung darin organ yang bersangkutan dan dapat menyebabkan perkembangan fistula juga. Saat ini kejadian ini sangat jarang oleh karena karsinoma ini dapat dideteksi pada stadium dini.
              Pernah dilaporkan juga ada kalanya karsinoma buli, cervik, prostat dan ovarium bisa dihubungkan dengan kejadian fistula enterovesical, dan termasuk adanya lympoma di usus. Fistula rektovesical frekeunsinya selalu dihubungkan dengan keganasan.
3.      Patofisiologi iatrogenik dan trauma
              Fistula iatrogenik biasanya diinduksi oleh karena prosedur pembedahan, radiasi, kanker, ataupun juga infeksi. Prosedur pembedahan yang meliputi prostaktomi, reseksi masa baik jinak atau ganas di rektum, laparoskopi inguinal pada hernia, diperkirakan sebagai penyebab terjadinya fistula rectovesical ataupun fistula rectourethral.
Radiasi eksternal atau brakhiterapy mungkin dapat menyebabkan kelainan pada usus. Fistula yang dihubungkan dengan radiasi berkembang dalam beberapa tahun setelah terapi radiasi pada keganasan pada ginekologis dan urologis. Fistula ini berkembang spontan setelah terjadi perforasi yang diinduksi oleh radiasi yang mengenai usus, dan fistula yang berkembang oleh karena radiasi sangat komplek dan mengenai lebih dari 1 organ (contohnya: usus ke vesicaurinaria). Sedangkan fistula yang disebabkan oleh oleh sitotoksik obat pernah dilaporkan pada pasien yang medapatkan terapi CHOP (cyclopospamid, doxorubicin, vincristine, prednisolone) regimen untuk lympoma Non-Hodgkin.
Gangguan uretral yang disebabkan oleh karena trauma tumpul atau lancip pada abdomen dapat menyebabkan fistula uretrorectal. Benda asing yang tertelan masuk ke dalam saluran pencernaan(misalnya menelan tulang ayam, atau tertelan benda asing yang lain) atau karena tindakan invasive pada peritonium, misalnya setelah laparoskopi pada pasien dengan batu empedu pernah dilaporkan dapat menyebabkan suatu fistula colovesical.

F.     Manifestasi Klinis
                  Tanda-tanda dan gejala klinis yang menyertai  fistula entervesical ini terjadi secara primer seperti halnya gejala penyakit yang mengenai saluran kemih. Gejala klinis yang paling umum terjadi adalah nyeri suprapubik, gangguan buang air besar, dan gejala yang berhubungan dengan suatu infeksi kronis mengenai saluran kemih. Hal ini juuga ditandai dengan penemuan abnormal dari analisis urin yaitu urin berbau, adanya kotoran di urin, hematuria.
                  Tanda-tanda gejala fistula enterovesical mungkin juga dikaitkan dengan Syndrome Gouverneur, yang ditandai dengan nyeri suprapubic, dysuria, tenesmus. Demam jarang terjadi, kecuali mungkin pada fistula colovesical yang berkembang menjadi sepsis. Sepsis sendiri pernah dilaporkan sekitar 70% pada pasien dengan obstruksi pada lubang saluran kemihnya. Tapi kadangkala fistula juga  asimptomatik dan jarang disertai adanya kelainan abdominal atau diare. Sehingga pada beberapa pasien yang asimptomatik tersebut kadang baru didiagnosa setelah 4 sampai 12 bulan setelah pengobatan yang tidak menunjukkan respon positif.
                  Pneumaturia dan juga fecaluria mungkin terjadi kadang-kadang saja, dan harus dicermati juga riwayat penyakit sebelumnya dari pasien tersebut. Pneumaturia terjadi pada sekitar 60 % pasien tapi kadang juga tidak spesifik karena ini juga bisa disebabkan oleh karena produksi gas mikroorganisme di vesika urinaria (contohnya Clostridium), atau pada pasien dengan diabetes melitus. Gejala pneumaturia pada fistula enterovesical ini lebih banyak terjadi pada pasien yang sebelumnya punya riwayat penyakit diverticulosis dan penyakit Crohn daripada  keganasan . Fecaluria adalah tanda patognomik pada pasien dengan fistula yang terjadi sekitar 40%. Pasien kadang menjelaskan kadang pada urinnya terdapat material seperti feses. Pada fistula enterovesical sering ditemui adanya aliran yang abnormal yang berawal dari usus ke kandung kemih, tapi jarang yang ditemui aliran dari kandung kemih ke usus. Gejala klinis dari fistula juga dikaitkan dengan penyebabnya, nyeri perut seringkali ditemukan pada penyakit crohn, tetapi kurang dari 30% yang ditemukan adanya masa di abdominal.
                  Diagnosis dari fistula enterovesical sendiri harus membutuhkan suatu indeks perkiraan yang tinggi dan dengan evaluasi status urologis yang penting untuk mencegah terjadinya komplikasi pada kemudian hari.

G.    Pemeriksaan Penunjang
                  Fistula enterovesikal sangat sulit dideteksi dengan pemeriksaan radoigrafis konventional, karena tidak bisa menunjukkan secara pasti adanya fistula enterovesical. CT scan adalah suatu metode yang sangat sensitive dan tidak invasif yang sangat akurat untuk menegakkan diagnosa adanya fistula. Sekitar 20 kasus fistula dapat dideteksi dengan pemeriksaan ini. Dengan CT dapat terlihat udara intravesical, suatu passase kontras baik itu  yang dimasukkan lewat oral ataupun anal ke dalam buli-buli, penebalan dinding dari buli itu sendiri,  penebalan dinding dari saluran pencernaan, ataupun suatu masa ekstraluminal yang dicurigai berisi udara. Pada intinya adalah CT Scan merupakan gold standar untuk Menegakkan diagnosis adanya fistula enterovesical.
nn          Namun ada cara sederhana untuk memeriksa fistula enterovesika, yaitu dengan menggunakan bubuk norit. Pasien diminta untuk memakan bubuk norit tersebut, jika pada urine berwarna hitam berarti ada saluran abnorman yang menghubungkan antara kandung kemih dan usus.

H.    Terapi
1.   Mengistirahatkan Usus dan hyperalimentation
Berikan nutrisi parenteral secara total, sehingga fistula enterovesical dapat menutup
2.   Terapi Medis
a.  Dapat digunakan untuk fistula enterovesical sekunder pada penyakit crohn.
b.  Penggunaan kortikosteroid, sulfasalazine dan antibiotik dapat mengakibatkan resolusi spontan.
3.   Tindakan bedah
      Dilakukan satu atau beberapa tahap;
a.       Tergantung ada tidaknya
1)          Inflamasi
2)          Keganasan
3)        Berdekatan dengan organ yang terkena
b.      Tindakan bedah meliputi laparatomi, memisahkan kandung kemih dengan usus, eksisi saluran fistula dan menutup dasar viscera.
c.       Sistectomi sebagian atau reseksi usus mungkin diperlukan.
d.      Menempatkan jaringan yang tervaskularisasi dengan baik seperti omentum diantara usus dan kandung kemih dapat mempercepat penyembuhan dan mencegah rekurensi.


           


















BAB III
KESIMPULAN

                  Fistula enterovesikal adalah suatu hubungan  abnormal yang menghubungkan antara vesika urinaria dan traktus intestinalis (colon, ileum, rektum, apendix dsb). Penyebab  terjadinya fistula enterovesikal bervariasi,  divertikel mengakibatkan terjadinya fistula colovesical, penyakit neoplastik (adenocarcinoma colon, karsinoma buli dsb) menyebabkan fistula rectovesical, Crohn disease menyebabkan fistula ileovesical, Apendisitis juga ditengarai bisa menyebabkan fistula apendivesical, Inflamation Bowel Disease, terapi radiasi,  juga karena proses trauma bisa jadi menjadi faktor lain penyebab terjadinya fistula ini.
                  Gejala klinis pada penyakit fistula enterovesikal yang paling sering yaitu nyeri suprapubik, dysuria, fecaluria, hematuria, penurunan berat badan, pneumaturia. Gejala lain tapi jarang terjadi adalah demam, diare, perdarahan rectum. Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperoleh adanya anemia, leukositosis. Dan kultur urin menunjukkan adanya mikroorganisme ( Streptococcus viridians, Escheriaca coli dsb). Prosedur diagnosis paling akurat untuk fistula enterovesical adalah dengan menggunakan CT Scan.
                  Modalitas terapi pada penyakit ini bervariasi juga tergantung pada seberapa fistula ini menimbulkan gejala sistemik. Terapi koonservatif dan medikamentosa kadang perlu untuk mengurangi gejala yang ada. Akan tetapi terapi yang terpilih untuk saat ini adalah dengan pembedahan, tetapi harus dicermati juga adanya inflamasi, keganasan, dan organ-organ yang berada di sekitarnya.



DAFTAR PUSTAKA



                         19 Maret 2009

                         19 Maret 2009

Decter, Ross et all. 1998.Colovesical Fistula Resulting From a Perforated Colonic Duplication. Pediatric Official Journal of The American Academy.
           http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/102/3/654 19 Maret 2009
.
Goldman, et all. 1995. CT Diagnosis of Enterovesical Fistulae. American Roentgen Ray Soceity.
          http://www.arrs.org/content/full/34/  19 Maret 2009.

Losco, G et all. 2003.Caecovesical fistula: a rare manifestation of carcinoma of the caecum.
           http://www.moh.govt.nz/moh.nsf/ 19 Maret 2009

Weng, Ju. 2006. Incidental Finding of a Rectovesical on Bone Scan. Departement of Nuclear Medicine Chun Seng Medical University.
           http://www.annucleimed./csmu/content.  19 Maret 2009










Posting

LAPORAN PENDAHULUAN / TEORI ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) PASIEN DENGAN STROKE HEMORAGIE

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) PASIEN DENGAN STROKE HEMORAGIE BAB I PENDAHULUAN        A.   Pengertian ...